Ber-Agama Dengan Akal Sehat

Unknown | 04.51 | 0 komentar

Sebuah pepatah Arab yang diyakini sebagai hadis Nabi mengatakan bahwa “agama adalah akal” (al-dinu huwa al-aql). Pepatah ini sering dikutip ulama dan sarjana Muslim untuk menegaskan bahwa beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa menyesatkan mereka. Saya senang dengan pepatah ini, bukan hanya karena ia menunjukkan aspek rasionalitas dari Islam, tapi juga karena pepatah itu, jika ditarik lebih jauh lagi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan para saintis tentang hubungan agama dan akal.

Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang.

Akal adalah bentuk non-fisik dari otak. Ia bisa diumpamakan sebagai piranti lunak (software) yang berjalan di atas otak yang merupakan piranti keras (hardware) pada sebuah komputer. Seluruh hewan bertulang belakang (vertebrata) memiliki otak dan sebagian besar hewan tak-bertulang belakang (invertibrata) juga memiliki otak. Ukuran otak manusia lebih besar dibanding rata-rata ukuran otak hewan lainnya. Akal manusia juga merupakan yang tercanggih dibandingkan akal hewan-hewan lainnya.

Jika menggunakan analogi komputer, manusia memiliki prosesor (otak) terbaru dengan sistem operasi (akal) tercanggih, sementara hewan-hewan lain memiliki prosesor dan sistem operasi yang jauh tertinggal. Prosesor dan sistem operasi yang canggih dapat menciptakan banyak hal, seperti memroses kata, mendesain, merekam suara, memutar lagu, dan mengedit film. Sementara prosesor dan sistem operasi yang tertinggal hanya bisa melakukan kerja-kerja terbatas. Semakin tertinggal sebuah komputer semakin terbatas ia melakukan fungsinya, semakin canggih sebuah komputer semakin banyak kemungkinan yang bisa dilakukan.

Tentu saja, otak manusia jauh lebih kompleks dari komputer. Tapi analogi di atas setidaknya bisa membantu kita memahami perbandingan antara apa yang telah dilakukan manusia dengan otaknya dan apa yang telah dicapai hewan-hewan lain. Kita sering melihat dua buah komputer yang tampilan luarnya sangat mirip namun berbeda dalam kemampuan kerja yang dilakukannya. Komputer dengan “otak” yang lebih maju selalu memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih baik.

Begitu juga manusia dibandingkan hewan-hewan lainnya. Yang membedakan mereka bukan bentuk fisiknya, tapi otaknya. Secara fisik, manusia dan kera (orangutan, gorila, dan simpanse) tak banyak memiliki perbedaan. Semua anggota tubuh yang dimiliki manusia juga dimiliki kera, dari kepala, tangan, kaki, jumlah jemari, bahkan bagian-bagian internal dalam tubuh mereka, seperti jantung, hati, empedu, dan ginjal. Bahkan, DNA, bagian paling penting yang membentuk tubuh manusia, tak banyak berbeda dari kera. Menurut penelitian terbaru, kedekatan DNA manusia dengan orangutan sekitar 96%, dengan gorila 97% dan dengan simpanse 99%. Dengan semua kemiripan ini, pencapaian manusia jauh melampaui semua hewan jenis kera itu. Mengapa?

Jawabannya adalah otak. Otak juga yang membedakan kera dari hewan-hewan lain. Para ilmuwan sepakat bahwa kera memiliki inteligensia di atas rata-rata hewan lainnya. Kera adalah satu-satunya jenis primata, selain manusia, yang memiliki kesadaran diri dan bisa menggunakan alat sederhana, seperti batu dan kayu. Otak kera memiliki ukuran yang lebih besar dari rata-rata hewan lain dan memiliki jaringan neuron yang sangat kompleks. Hanya otak manusia yang bisa menandingi otak kera, baik dalam hal volume maupun kerumitan jaringan.

Agama, seperti juga budaya dan produk-produk lainnya, adalah hasil kerja otak. Otaklah yang menciptakan bangunan, rumah, kuil, dan candi. Otak juga yang menciptakan konsep-konsep abstrak seperti kecantikan, keindahan, kekuasaan, kekuatan, kemurkaan, dan sebagainya. Konsep-konsep dalam agama, seperti tuhan, dewa, malaikat, setan, dan sejenisnya, tidak datang begitu saja. Ia lahir dari otak yang sudah berkembang, maju, dan memiliki kosakata yang cukup untuk mengungkapkannya.

Otak manusia juga yang mengembangkan agama dari bentuknya yang “primitif” hingga menjadi agama-agama modern yang sistematis seperti sekarang. Tentu saja, ada sebagian ritual primitif yang hilang, tapi ada sebagian lain yang dipertahankan. Selama otak manusia masih bisa menerima ritual-ritual itu (seberapapun absurd-nya), dia akan terus hidup, tapi jika otak manusia tak bisa lagi menerimanya, ritual-ritual itu akan lenyap. Misalnya, penyembelihan anak gadis untuk dipersembahkan kepada Tuhan (dewa) pernah menjadi ritual suatu agama, tapi ketika otak manusia tak lagi bisa menerimanya, ritual itu ditinggalkan.

Pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab yang di atas: agama adalah akal. Tidak ada agama bagi yang tak berakal. Akal adalah pembimbing manusia yang paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna.


Bedanya Taat Beragama Dan Memahami Agama

Unknown | 18.34 | 0 komentar
Secara sederhana taat biasanya dikonotasikan sebagai rajin melaksanakan ritual keagamaan. Misalnya seorang muslim rajin melakukan sholat, berdoa, puasa, zakat dan seterusnya. Begitu juga dengan rajin membaca Alquran. Dan hal-hal yang besifat seremonial keagamaan lainnya dalam agama Islam.

Semua itu merupakan tindakan lahiriyah. Dan untuk bisa menjadi taat ini dibutuhkan kemauan dan tekad untuk tidak pernah alfa dalam melakukannya. Dan bisanya taat ini dilatihkan oleh lingkungan kegamaan seseorang, misalnya oleh orang tua, guru agama dan sejenisnya. Soal apakah tindakan itu disertai dengan sikap dan penghayatan bathin sudah diluar konteks konotasi taat. Karena sikap bathin seseorang tidak ada yang tahu. Dan tidak ada alat ukur yang bisa menjamahnya.

Sedangkan memahami lebih berkonotasi pada pengetahuan. Pada penalaran. Pada wawasan seseorang terhadap agama Islam. Atau dalam istilah lain, memahami lebih berkonotsi pada sisi intelektualitas seseorang. Yang dibutuhkan disini adalah sisi pengetahuan dan penalaran. Bukan lagi dalam bentuk tindakan melakukan ritual keagamaan. Karena yang dibutuhkan adalah kapasitas intelektual, maka untuk memahami Islam tidak harus seseorang memeluk atau meyakini Islam agar dia bisa memahami Islam. Itu sebabnya bisa terjadi seorang Islamis atau Orientalis bisa lebih memahami Islam dari pada umat Islam sendiri.

Sebutlah misalnya tentang sejarah Islam.
Seorang yang begitu rajin melaksanakan sholat dan puasa, bisa jadi sangat awam dengan sejarah di seputar Alquran. Akan tetapi seorang yang jarang sholat, bahkan non muslim sekalipun, bisa menjadi seorang sejarawan Alquran. Karena yang dibutuhkan untuk menjadi ahli sejarah Alquran bukan sholat atau puasa. Tetapi adalah menguasai literatur dan perangkat metodologis untuk melakukan penelitian sejarah. Begitu juga dalam bidang-bidang keislaman lainnya seperti pada Filsafat, Ilmu Kalam, Tasauf, Fiqh dan sebagainya.

Itu sebabnya seorang yang taat beragama bukan identik bahwa dia sekaligus juga memiliki pemahaman akan agama Islam. Begitu juga sebaliknya, seorang yang begitu paham dan sangat berawawasan terhadap Islam, belum tentu juga taat dalam melaksanakan ritual keagamaan. Walaupun juga ada yang memiliki keduanya. Dengan kata lain, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda. Taat mesti didekati dengan tindakan fisik. Sedangkan memahami lebih merupakan aktifitas intelektual.




Merawat Tuhan Dengan Dongeng

Unknown | 23.21 | 0 komentar
Riwayat pembuktian keberadaan Tuhan berlalu sangat melelahkan dari masa-masa. Bermacam bentuk rasionalisasi dinyatakan untuk membuktikan perntanyaan tentang keberadaan Tuhan. Lalu apakah Tuhan sudah terbukti keberadaanya ? Berbagai cerita, dongeng dan analogi jawaban menarik dikemukakan. Ada analogi tukang jam, analogi tukang cukur, analogi rakit, analogi angin topan yang bertiup di rongsokan besi tua yang akhirnya membentuk pesawat terbang dll.
Intinya adalah mencoba menjelaskan bahwa  segala sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya, pasti ada yang membuatnya yaitu Tuhan.

Berikut ini adalah kisah-kisah analogi yang menjadi dongeng sebagai pembuktian keberadaan Tuhan, yang saya tulis kembali dari pembaca blog Belajar Saraf ini :

Tukang Cukur Dan Pelanggannya.
Tukang Cukur   : "Mas, sampeyan percaya nggak Tuhan itu ada"?
Pelanggan        : "Saya percaya Tuhan ada"
Tukang Cukur : "Kalau memang Tuhan ada kenapa Dia tidak mampu menyelesaikan itu lumpur lapindo, padahal sudah ribuan orang berdoa agar itu lumpur masuk lagi ke bumi. Dan menyelesaikan seabreg lagi masalah di negara kita".
Pelanggan        : "Itu adalah ujian dari Tuhan untuk manusia".
Tukang Cukur  : "sampeyan salah mas, itu adalah berarti Tuhan itu tidk nyata alias tidak ada".
Pelanggan terdiam. Beberapa menit kemudian lewat orang dekil dgn rambut panjang kusut sedada dan baju-celana compang-camping.
Pelanggan       : "Bang, tukang cukur ada banyak ya di negara kita"?
Tukang Cukur : "Sampeyan ngomong apa, ya jelas banyak toh, di sini saja pesaing saya ada puluhan, ini baru se RW sini".
Pelanggan      : "hehe...Abang enggak lihat itu orang compang-camping kok di biarin tidak diurus rambutnya? kenapa puluhan tukang cukur di sini tdk mampu selesaikann rambut itu orang, kasihan kan Bang? berarti tukang cukur tidak nyata donk" !
Tukang Cukur  : "lha...salah dia sndiri toh enggak nyamper ke sini".
Pelanggan      : "Insya Alloh sperti itu juga bang, Tuhan itu nyata. Kalau masih ada seabreg kasus menimpa manusia, jangan salahin Tuhan, manusianya yang tidak mendekat ke Tuhan".

Anak Tikus Dan Jebakan
Ada cerita si anak tikus bandel dia tidak peduli akan nasehat ibunya agar tidak masuk ke dalam sentreg (penjebak tikus). Tikus Kecil : bilang "mama, itu ada daging segar di situ, saya lapar". Mama : jangan nak, itu jebakan manusia. itu sentreg ada tutupnya, nanti kamu masuk, dagingnya ke goyang sedikit, kamu terjebak, maka akan muncul manusia membawa api dan pecut, kamu akan di siksa manusia pake api, di rebus di air panas, di tusuk-tusuk". Tikus Kecil : "mana mama? tidak ada manusia, ah mama bohong". Mama : "jangan nak, pasti nanti ada manusia". Tikus kecil itu masuk ke dalam sentreg dan persis terjadilah kenyataan apa yang di ceritakan mama-nya. Begitu juga dengan Tuhan. Dia itu ada namun manusia tidak mampu untuk melihatnya.

Ikan dan Pancing
Juga ada si ikan kecil nakal yang hendak memakan umpan cacing pada sebuah kali. Namun dia tidak mendengar kata-kata ibunya. Ibu : "jangan nak, jangan kau makan cacing itu, itu ada talinya tersambung ke darat, nanti kalau kamu makan itu cacing, kamu akan ditangkap manusia di darat, dia akan menusuk-nusuk kamu, memanggang kamu dan memakan kamu. Ikan Kecil : "ah, enggak ada kok ma". Ikan kecil bandel itu pun tetap memakan cacing itu. Dan dijumpai-lah manusia dengan pisau, bumbu dapur, arang bakar dan sambal. Dan dia pun mati terpanggang. Tuhan juga tidak bisa terlihat oleh manusia biasa. Dia ada dan hanya manusia tertentu saja yang mampu mengetahui keberadaanya.

Dan banyak lagi cerita-cerita lain yang bisa anda cari sendiri dalam situs atau buku-buku disekitar anda

Lalu apakah dengan semua cerita analogi tersebut membuktikan bahwa Tuhan benar-benar nyata ? Setelah anda membaca dan mendengar analogi tersebut, Tuhan bisa nampak didepan mata anda, anda bisa merabanya, anda bisa mendengar suaranya, anda bisa mecium aromanya ? Tidak sama sekali.

Cerita tersebut menjelaskan bahwa manusia memang tidak dapat menemukan rasionalisasi keberadaan Tuhan. Sehingga dibuatlah analogi-analogi tersebut yang diciptakan untuk menghibur nalarnya. Cerita-cerita tersebut terus-menerus diproduksi dan dirawat secara turun temurun. Sehingga menjadi sebuah kisah dongeng yang wajib diceritakan untuk me-ninabobo-kan anak-anak kecil yang nakal dan susah tidur.

Lalu dimanakah Tuhan ?
Tuhan tetaplah tidak nyata, kecuali dalam kisah-kisah dongeng pengantar tidur.



Inilah Tuhan-Nya Orang Indonesia

Unknown | 02.28 | 0 komentar
Anda bingung dengan judul diatas ?
Memangnya Tuhan itu macam-macam ya ? Kok ada Tuhan-nya orang Indonesia. Berarti ada Tuhan-nya orang Malaysia, orang Singapura, orang Inggris, orang Amerika, dll dong ?

Hem...kalau anda bingung itu berarti sama, karena saya-pun juga bingung.


Semestinya yang mempunyai otoritas untuk memberi hukum ini haram atau tidak, ini berdosa atau tidak sepenuhnya adalah wewenang Tuhan. Karena Tuhan pula yang punya hak untuk memberikan pahala atau dosa terhadap sesuatu yang dilakukan oleh menusia.

Tapi yang ada di Indonesia ini menurut saya ngawur. Karena yang menentukan haram dan tidaknya segala hal itu ternyata adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia). Lihat saja baru-baru ini MUI memberikan pernyataan tentang konser Lady Gaga yang akan di gelar di Indonesia yang menurut MUI adalah hukumnya Haram.

Kenapa begitu sewenang-wenangnya lembaga MUI mengeluarkan fatwa-fatwa ini haram, itu haram, ini dosa, itu juga dosa ! Bukankah itu tidak berarti sama dengan Tuhan ? Memangnya yang memberikan pahala dan dosa pada orang-orang Indonesia itu adalah MUI ? Memangnya yang memasukkan seseorang ke Surga dan Neraka itu adalah MUI ?




Obat Tidur Itu Bernama Agama

Unknown | 00.55 | 5 komentar
Bertahun-tahun yang lalu ilmu pengetahuan belum mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa sakit, sekarang berbagai jenis anti virus serta segala jenis antibiotik mencegah kita terkena infeksi kuman. Bertahun-tahun yang lalu agama memunculkan diri untuk menawarkan penjelasan. Bahwa orang sakit itu karena kutukan, karena dosa, karena durhaka, karena cobaan Tuhan, dan seterusnya. Bahkan sekarang masih ada orang yang mengatakan kalau gempa disebabkan dosa.


Sekarang ini ilmu pengetahuan telah banyak mengeliminasi sebagian besar pertanyaan yang dulunya coba dijawab oleh agama lewat dongeng dan fiksi. Perkembanganya semakin memperjelas bahwa penjelasan-penjelasan dari agama ternyata semakin memperjelas bahwa agama tak lebih hanyalah berisi tentang cerita fiksi pengisi ruangan kosong dari ilmu pengetauan.

Mengapa bisa begitu.? Karena ilmu pengetahuan memang telah banyak berhasil menyelamatkan hidup kita dari dulu. Apabila anda sedang sakit panu, lalu anda bacakan ayat-ayat dan do'a sampai satu truk, saya yakin tidak akan sembuh kalu anda tidak mengobatinya dengan obat panu.

Begitu juga dulu, sebelum ilmu pengetahuan menjelaskan apa itu petir, agama mengatakan bahwa itu adalah amarah Tuhan. Sebelum ilmu pengetahuan menjelaskan apa itu tsunami, agama mengatakan itu adalah cobaan Tuhan.

Itulah manfaat Agama selama ini. Agama menjadi pelarian atas kebodohan manusia.



Islam Fundamentalis dan Modernis

Unknown | 22.43 | 4 komentar
Membaca ayat-ayat Alquran yang sering dijadikan sebagai dasar jihad oleh kaum Islam Teroris, dan melihat sikap umat Islam Fundamentalis yang intoleran dan anarkis, sebagian pihak berangan-angan agar Islam dibumihanguskan, demi terciptanya cita rasa humanisme yang non sektarian dalam kehidupan sosial.

Bagi saya impian itu hanya sebuah utopia. Karena meminjam analisis Peter L Begger, semakin maju peradaban dunia, justru sebaliknya gejala Fundamentalisme agama juga semakin tajam. Berger menyimpulkan bahwa fundamentalisme adalah saudara kembar modernisme. Seakan-akan dia ingin berkata, bahwa tanpa fundamentalisme, modernisme itu menjadi tidak mungkin. Keduanya adalah sayap kiri dan sayap kanan dalam evolusi kebudayaan.

Dan tesis Berger, memang terbukti dalam kenyataan. Setidaknya hingga hari ini.
Pandangan dan teknologi mutakhir apa yang tidak menjulang pada Abad ini? Pada kebudayaan kontemporer hari ini? Tapi gejala fundamentalisme agama (Islam), juga tak penah padam. Kenapa?

Secara psikologis, mereka justru merasa semakin terdesak. Gempuran kebudayaan Barat Modern yang dalam imajinasi mereka begitu mengancam, telah memaksa otot-otot mekanisme pertahanan dirinya mengencang. Hingga berujung pada aksi perlawanan. Dan itulah yang terlihat di medan sosial. Muncul para aktivis dan gerakan-gerakan purifikasi Islam. Secara wacana mereka berusaha merebut dan menguasai wacana publik bahwa Islam adalah solusi dari kekacauan hidup dari segala lini. Dan secara aksi, mereka sibuk membatasi dan merongrong berbagai aktivitas sosial. Sebutlah misalnya praktik-praktik bisnis perjudian, pelacuran dan kehidupan bebas tanpa sandaran nilai-nilai Keislaman yang mereka yakini.

Menurut saya yang terpenting adalah cuci otak.
Membakar cara berpikir. Menjungkirbalikan paradigmanya.
Bahwa Islam bukanlah sebuah obat mujarab dalam hidup.
Tapi adalah salah satu alternatif pilihan pribadi yang bersifat psiklogis.
Bukan solusi praktis empirik. Sehingga sikap intoleran, sikap merasa benar sendiri dan reaktif menjadi tidak ada gunanya dalam kehidupan sosial.

Menurut saya membangun kesadaran atau paradigma berpikir tidak bisa dilakukan dengan gerakan. Tapi adalah dengan studi. Dengan membentuk iklim dialogis. Melalui diskusi. Melalui sharing komunitas. Semakin banyak ruang-ruang dialog, wadah-wadah diskusi, maka cara berpikir yang “Islam sentris” itu juga akan bisa ditendang sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu.

Mengharap perubahan yang revolusioner pada cara berpikir, bagi saya hanya bualan dan angan-angan yang tidak realistis. Karena soal kesadaran, soal paradigma berpikir, bukan seperti menukar sepatu lama dengan sepatu baru. Tapi adalah mirip dengan mencongkel lapisan bebatuan yang sudah mengeras. Meminjam istilah Foucalt, merubah paradigma berpikir umat Islam Fundamentalis, mirip dengan kegiatan menambang lapisan geologis. Yang akan dibongkar, adalah lapisan bawah tanah. Endapan keyakinan yang sudah mengeras di lapisan alam bawah sadar, yang sudah menjadi darah dagingnya. Yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Yang sudah refleks emosional. Itu sebabnya, asal Islam dikritik, telinga umat Islam langsung memerah, jenggor terbakar, nafas berpacu dan seruan Allahu Akbar langsung berkumandang.