Manusia-lah Yang Menciptakan Tuhan

Unknown | 02.06 | 2 komentar

Manusia beragama mengaku menyembah Tuhan. Mereka menengadah ke langit. Merewang ke dunia lain, ke dunia imajiner ciptaan mereka sendiri.


Ketika kepala mereka membentur tembok, mereka berkata:
“Aduh … Tuhan menguji saya”

Ketika mereka jatuh sakit, mereka berkata:
“Hmm … Tuhan masih sayang pada saya. Dia masih menguji kesabaran saya”
Walaupun mereka sakit karena kelalaian mereka sendiri menjaga kesehatan.

Ketika mereka tak pernah berhasil menembus prestasi, mereka berkata:
“Tuhan memang menakdirkan saya begini. Jadi saya harus menysukuri pemberian Tuhan ini apa adanya”
Walaupun penyebabnya adalah karena mereka malas dan gagal berusaha.

Ketika mereka kalah berhasil dari orang lain, mereka berkata:
“Ah … dia itu sedang dibiarkan lupa diri oleh Tuhan dengan segala keberhasilannya.”
Walaupun diam-diam sebenarnya mereka cemburu kenapa dia juga tidak berhasil.

Ketika mereka ditimpa bencana, mereka berkata:
“Marilah kita berdo’a”. Bukan berusaha mengatasinya secara alamiah denagn Ilmu Pengetahuan.

Ketika mereka begini begitu..
Mereka selalu melemparkannya pada Tuhan.
Mereka tidak mau mengakui karena dirinya sendiri.
Alasan mereka itulah bukti bahwa mereka menyembah Tuhan,
Alasan mereka itulah bukti kepercayaan dan kecintaannya pada Tuhan.

Kenapa mereka tidak mau dewasa mengakui bahwa semua itu adalah hasil dari perbuatan mereka sendiri?

Kenapa mereka buta bahwa mereka sedang menyembah ego mereka sendiri yang mereka beri nama dengan Tuhan?



Buat Saya Uang Jauh Lebih Berharga Dari Pada Agama

Unknown | 07.19 | 9 komentar
Saya ingin jujur-jujur saja.
Bagi saya uang jauh lebih penting dari agama
Karena saya tidak bisa hidup tanpa uang. Karena nyaris setiap sisi kehidupan saat ini tidak ada yang bisa bebas dari uang. Bahkan agamapun tidak bisa hidup tanpa uang.

Tanpa uang, saya bisa mati mendadak.
Tapi tanpa agama, saya tetap bisa hidup dan berprestasi.
Ini kenyataan!

Fungsi agama bagi saya saat ini hanya sebagai pengaman dan pelengkap hidup.
Pengaman dalam arti agar saya aman secara sosial. Agar saya tetap diterima dan tidak diburu oleh masyarakat. Karena syarat untuk bisa diterima dalam maysarkat negara terbelakang seperti Indonesia adalah penduduknya wajib beragama. Dan ukuran baik buruk seseorang dalam masyarakat juga adalah beragama.

Kemudian fungsi lain agama bagi saya saat ini adalah untuk menyalurkan hobi. Yaitu hobi diskusi.

Apakah ini artinya saya merendahkan agama?
Sama sekali tidak. Karena agama itu memang sudah rendah dari awalnya.
Karena agama itu pada mulanya adalah kebudayaan masyarakat primitif. Sebuah kebodohan akan pemahaman hidup lalu dipuja dan disembah sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dari zaman ke zaman secara temurun. Padahal hanya sebuah penyakit kejiwaan yang menyamar sebagai dewa penyelamat.

Lalu apakah ini berarti saya seorang materialis? Pemuja materi?
Sama sekali tidak. Karena selain pemuja akal, saya juga pemuja hati. Pemuja cinta. Dan hati, cinta, adalah bahasa Universal manusia. Mata uang asli yang selalu laku dan dirindukan dimana-mana, sampai kapanpun.

Dan itu? Jauh lebih berharga dari agama.



Menjadi Sesat Itu Tidak Gampang

Unknown | 20.41 | 0 komentar
Ada satu hadits yang cukup populer di kalangan kaum muslim: “umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.” Ramalan Nabi dalam hadits tersebut terasa murung bukan hanya karena perpecahan umat ke dalam beragam aliran digambarkan sebagai sesuatu yang tak terelakkan, melainkan juga karena sebagian besar dari mereka oleh hadits tersebut divonis sesat dan bakal masuk neraka. Hanya satu kelompok saja yang Islamnya benar dan layak masuk surga.

Dalam hadits di atas, Nabi tidak menegaskan secara eksplisit siapa satu kelompok yang selamat (firqah najiyah) itu. Ini pada gilirannya membuka peluang bagi golongan Islam tertentu untuk mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat. Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam, di mana aliran-aliran yang saling bertikai kerap melempar tuduhan kafir satu sama lain.

Singkat kata, ramalan Nabi dalam hadits di atas secara selintas justru terkesan menjadi dalil pembenar bagi intoleransi antar sesama muslim dan eksklusivisme di kalangan umat. Tapi apa betul kesan selintas ini?
Kalau yang kita tanya Imam al-Ghazali, barangkali ia akan dengan tegas menjawab tidak betul. Al-Ghazali membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan di atas menyuburkan intoleransi dan eksklusivisme dalam berislam dengan sejumlah alasan:

Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua di akhirat. Alasan kedua, hadits di atas bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”

Al-Ghazali selanjutnya berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama (furu’), yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.

Al-Ghazali di sini sebenarnya hendak mengatakan bahwa hampir semua pertikaian pendapat dalam soal-soal teologi antara kaum mu’tazilah yang rasionalis versus ahlul hadits yang tesktualis, atau antara kaum Sunni dan Syi’ah, adalah pertikaian soal-soal sekunder yang masih dalam koridor keIslaman. Dengan kata lain, pertikaian pendapat tersebut tidak menjadikan mereka sesat. Kalau dalam soal teologi saja begitu jembar ranah toleransinya, apalagi dalam soal syari’ah dan fiqh.

Pandangan Al-Ghazali ini menarik karena ia membalikkan nada murung ramalan Nabi dalam hadits di atas menjadi lebih rileks dan cerah. Keragaman aliran Islam diterima sebagai rahmat, bukan kutukan. Selama mereka masih percaya pada tiga pilar iman di atas, maka silang pendapat di antara mereka tidak akan menjerumuskannya ke dalam kekafiran.

Spirit toleransi yang disuarakan Al-Ghazali ini tampaknya diamini dan bahkan diperluas oleh Muhammad Abduh yang menulis bahwa: “apabila seorang muslim menyatakan satu pendapat yang kalau dilihat dari seratus sisi tampak kufur, tapi ada satu sisi saja yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak bisa dicap sebagai kafir.”

Jadi ternyata, dalam soal-soal keislaman, menjadi sesat itu tidak gampang.



Teori - Teori Kemunculan Agama

Unknown | 21.44 | 0 komentar
Ini adalah beberapa teori kemunculan agama yang saya ketahui :

1. Agama muncul karena kebodohan manusia.
Menurut pendapat teori ini, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte peletak dasar aliran positivisme menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya periode primitif karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib.

Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuak dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka. Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya.

2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Tuhan digambarkan sebagai seseatu yang berkuasa atas segalanya, sehingga jika manusia tidak menurutinya maka Tuhan akan memasukkan kedalam neraka. Karena rasa ketakutan inilah maka agama muncul untuk mendamaikan ketakutan tersebut.

3. Agama adalah produk penguasa
Karl Marx mengatakan bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.
Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang.

4. Agama adalah produk orang-orang lemah
Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini dipelopori Nietzche, seorang filusuf Jerman.